BAB
X
KEPUNAHAN BAHASA
A. Pengantar
Pergeseran
bahasa kadang-kadang mengacu kepada kepunahan bahasa. Hal ini terjadi manakala
guyup bergeser ke bahasa baru secara total sehingga bahasa terdahulu tidak
dipakai lagi. Ada sedikit kontroversi tentang kepunahan bahasa, yaitu apakah
kepunahan bahasa itu mengacu kepada guyup tutur yang hanya terdiri dari penutur-penutur
terakhir yang baru hidup saja ataukah juga mengacu kepada pergesaran sepenuhnya
dalam suatu guyup tertentu tanpa memperhatikan apakah di tempat lain masih ada
orang-orang yang memakai bahasa itu.
Ada
dua aspek kepunahan bahasa yang menjadi minat pakar linguistik, yaitu aspek
linguistik dan aspek sosiolinguistik. Dari aspek linguistik, bahasa yang berada
dalam saat-saat terakhir pemakaiannya dalam suatu guyup mengalami
perubahan-perubahan dalam sistem lafal dan sistem gramatika, dalam beberapa hal
terjadi pijinisasi atau penyederhanaan. Dalam aspek sosiolinguistik, yang
dicari adalah seperangkat kondisi yang menyebabkan guyup itu menyerah dalam
suatu bahasa bagi kelangsungan bahasa lain.
B. Bagaimana Bahasa Menjadi Punah
“Bahasa
itu bersifat organis (seperti makhluk hidup) dan karena itu bahasa mempunyai
rentangan hidup”. Pengungkapan awal tentang pandangan ini ditemukan pada karya
Thomas Jones, 1688, tiga abad yang lalu, yang dikutip oleh Morgan, terhadap bahasa
atau dominion ... ada waktu yang dijanjikan (dijadwalkan); keduanya mempunyai
masa bayi (infancy), dasar dan awal, mempunyai pertumbuhan dan peningkatan
dalam kemurnian dan kesempurnaan; begitu pula dalam penyebaran, dan
pengembangbiakan: ketegaran, masa tua, rentan (merosot) dan rusak. Kemudian,
Jespersen mengutip pandangan linguis ulung dari jerman, Frans Boop (1971-1867),
bahasa dipandang sebagai benda alam yang organis, yang dibentuk berdasarkan
hukum-hukum pasti, berkembang karena mempunyai prinsip internal dalam hidupnya
dan perlahan-lahan mati karena bahasa tidak lagi memahami dirinya sendiri.
Aitchison (1981) mengatakan, sekarang ini tidak dipercaya lagi, “Bahasa itu
berprilaku seperti kacang atau bunga krisan, bertahan hidup sesuai dengan waktu
yang diberikan, lalu punah pada waktunya”.
Bahasa
tidak mempunyai “Prinsip internal dalam hidup”, bahasa juga tidak mempunyai
kemampuan dalam dirinya untuk bergerak memasuki persaingan hidup dan mati.
Bahasa memperoleh “jatah hidup”, tetapi itu bukan dari hukum alam melainkan oleh
masyarakat dan budaya manusia. Nasib bahasa terkait dengan pemakainya dan kalau
bahasa merosot atau punah hal itu hanya karena keadaan penuturnya telah
berubah.
Menurut
Kloss (1984), ada tiga tipe utama kepunahan bahasa, yaitu sebagai berikut.
1. Kepunahan
bahasa tanpa pergeseran bahasa (guyup tuturnya lenyap).
2. Kepunahan
bahasa karena pergeseran bahasa (guyup tutur tidak berada dalam “Wilayah tutur
yang kompak” atau bahasa itu menyerah kepada” pertentangan intrinsik prasarana
budaya modern yang berdasarkan teknologi”).
3. Kepunahan
bahasa nominal melalui metamorfosis (misalnya suatu bahasa turun derajat
menjadi berstatus dialek ketika guyup tuturnya tidak lagi menulis dalam bahasa
itu dan mulai memakai bahasa lain).
Secara
keseluruhan, tak dapat diragukan lagi bahwa penyebab paling jelas dan paling
umum surut dan punahnya bahasa adalah tidak cukupnya konsentrasi penutur
menghadapi lingkungan yang kuat secara ekonomi dan canggih teknologinya. Proses
yang paling kita kenal dalam kepunahan bahasa ialah tidak adanya pengalihan
(transmisi) bahasa asli dari orang tua kepada anak-anaknya.
Bahasa
mungkin “mati”: dimatikan (dibunuh) atau bunuh diri? Para penulis telah
mendiskusikan “kematian” bahasa dalam istilah-istilah yang emosional dan banyak
kesimpulan bermunculan. Misalnya, ada yang mengatakan bahasa Irlandia dibunuh
oleh bahasa Inggris. Seorang ahli menuduh, bahasa itu tidaklah punah karena
“mati secara alami” melainkan dibunuh oleh mereka yang ingin menghancurkan
bangsa Irlandia. Pendapat terakhir, yaitu oleh O’Rahilly, seorang dialegtologis
dan pakar fonologi bahasa Irlandia, berpendapat serupa: “Kalau suatu bahasa
menyerah sendiri kepada idiom asing dan kalau semua penuturnya menjadi
kedwibahasawan, hukumnya adalah mati”.
Faktor-faktor
yang menyebabkan surutnya bahasa jumlahnya sangat banyak dan beragam. Menurut Gregor, 1980, tidak ada penyebab
tunggal atas punahnya bahasa; punahnya bahasa, menurut Denison, 1977,
melibatkan “mata rantai peristiwa”. Dorian (1979) menganggap, “mencari penyebab
tunggal yang jelas-jelas menyebabkan kepunahan bahasa adalah sia-sia”. Aithchison
(1981) memberi alasan terjadinya kedua hal itu, pembunuhan dan bunuh diri:
pembunuhan terjadi kalau dua bahasa yang tidak sama melakukan kontak dan
varietas yang tinggi prestisenya masuk ke ranah-ranah varietas lain; dan bunuh
diri terjadi kalau bahasa-bahasa yang sama (ragam-ragam atau dialek-dialek dari
satu bahasa) melakukan kontak, tetapi salah satunya mempunyai status lebih
tinggi; bunuh diri di sisni mencakupi makin membanjirnya peminjaman dari bentuk
yang prestisius. Namun, kedua bentuk surutnya bahasa itu melibatkan bunuh diri,
dalam arti, pada suatu titik tertentu suatu ragam yang baru diambil (diadopsi).
Inilah pandangan Denison yang mencatat, penyebab langsung kepunahan bahasa
adalah langkahnya transmisi bahasa itu kepada anak-anak. Ini terjadi karena
masyarakat “kadang-kadang ‘memutuskan’ untuk menindas sebagian dari dirinya
karena alasan-alasan ekonomi fungsional”.
C. Kasus Bahasa Irlandia
1.
Sejarah
bahasa
Irlandia mempunyai sejarah gemilang. Pada abad ke-6 sampai ke-9 merupakan “abad
keemasan”, Irlandio merupakan satu-satunya negara Eropa Barat yang bahasa
aslinya dianggap paling cocok bagi pendidikan dan kesusastraan. Pada abad ke-9
bahasa Irlandia menggantikan bahasa Latin sebagai bahasa pengantar keagamaan
dan dikukuhkan oleh perintah kerajaan. Dengan munculnya para penutur bahasa
Prancis dan Inggris, mulailah proses perubahan, meskipun tidak begitu cepat. Ada
proses peng-Gaelik-an bagi para pendatang di sana (Gaelik adalah sebutan bagi
orang dan budaya Irlandia). Tahun 1366 muncul undang-undang yang mencoba
membiarkan penduduk berbahasa Inggris mengadopsi adat-istiadat Irlandia,
seolah-olah mengakui kebesaran peng-Galik-an.
Namun,
nasib bahasa Irlandia segera berubah. Raja Henry III mulai menghantam bahasa
Irlandia: 1536 dia mengeluarkan aturan yang berbunyi a.l. tiap penduduk kota
berbicara dalam bahasa Inggris, anak-anak harus dimasukkan ke sekolah untuk
belajar bahasa Inggris. Kemudian, ada sedikit perbaikan ketika Ratu Elizabet
naik tahta: pencetakan Kitab Suci Injil dalam bahasa Irlandia, dan pendirian
perguruan tinggi agama, Trinity College. Menjelang akhir abad ke-16 bahasa
Irlandia masih menjadi bahasa mayoritas, tetapi masa depannya tetap kelabu.
Bahasa
Inggris mulai maju dengan mantap: antara
1600-1800 menjadi bahasa sehari-hari bagi sekitar separoh jumlah penduduk. Para
penutur bahasa Irlandia makin lama makin menjadi miskin dan bahasa mereka tidak
memperoleh pengakuan resmi. Pada pertengahan abad ke-19 dimulai gerakan untuk
menegakkan kembali bahasa Irlandia, namun segala usaha tidak bisa menyelamatkan
bahasa itu. Pada sensus 1926 tercatat 18 % penduduk mampu berbahasa Irlandia
dan ekabahasawan Irlandia sangat jarang. Namun, nasionalisme Irlandia masih
bergelora, seperti tergambar dalam semboyan de
Valera: “Irlandia dengan bahasanya dan tanpa kemerdekaan lebih baik
daripada Irlandia dengan kemerdekaan dan
tanpa bahasanya”. Dalam keadaan seperti itu, pemerintah masih membatasi
restorasi (pembinaan dan pembangunan) bahasa Irlandia di sekolah.
2.
Pendidikan
Sejak
awal sekolah, bahasa Irlandia menjadi pelajaran wajib. Corcoran (1925)
menyatakan sekolah dapat merestorasi bahasa Irlandia meskipun tanpa bantuan
positif dari keluarga. Namun, sejak awal, mencari guru bahasa Irlandia yang
baik amat sulit. Persatuan guru Irlandia mengakui sulit bahasa Irlandia dipakai
sebagai bahasa pengantar, tetapi ini tidak berani mereka hendak mengeluarkan
bahasa ini dari kurikulum, bahkan mereka sebenarnya dalam hati jengkel atas
putusan pemerintah membangkitkan kembali bahasa Irlandia melalui sekolah.
Kejengkalan itu terungkap dalam pernyataan seperti ini, “Guru sudah kehilangan
akal untuk mencambuki kuda mati, tetapi para pakar berdebat tentang kemungkinan
adanya cambuk lain untuk menghidupkan si kuda itu.” Atau “Bahasa Irlandia itu,
disamping sebagai bahasa minoritas yang hanya sedikit yang tahu, juga sedang
dalam sekarat karena itu jangan mencerca guru atas kematiannya”.
3.
Gaeltacht
Gaeltacht merupakan
problem gerakan bahasa (masuk dan keluar). Tahun 1972 pemerintah membentuk
badan penasihat untuk berbagai urusan Gaeltacht.
Badan ini menyarankan dibentuknya lembaga pusat kegiatan yang kemudian
didirikan tahun 1979. Selanjutnya, radio Gaeltacht
didirikan 1972 juga, tetapi siarannya tetap kalah oleh siaran televisi
berbahasa Inggris.
Diakui
banyak pakar, sikap bahasa dan penggunaanya merupakan faktor-faktor paling
penting bagi Gaeltacht dan bahasa
Irlandia. Namun, menurut penelitian usaha penyelamatan Gaeltacht itu sudah gagal dan sekarang tinggal puing-puing. Fennel,
1980 yang melakukan penelitian itu, mengecam banyak kegagalan gerakan
kebangkitan yang melihat “Gaeltacht” sebagai
tanah impian dan ketidakbecusan pemerintah. Namun, ia juga mencatat, rakyat
sendiri tidak begitu menghargai bahasa Irlandia sebagaimana diharapkan dan melupakan
pengaruh “pilihan bahasa” oleh para penutur.
4.
Bahasa
Irlandia dalam Kehidupan Resmi
Sebagian
besar dokumen dicetak dalam bahasa Inggris dan Irlandia. Selanjutnya,
pemerintah melakukan usaha-usaha khusus untuk upaya restorasi (di luar
pendidikan). Misalnya, 1958 didirikan Komisi Restorasi bahas Irlandia untuk
memperkuat kebangkitan bangsa. Kemudian, dalam kehidupan sehari-hari ada tempat
bagi bahasa Irlandia, tetapi hampir semuanya bersifat serremonial (tak berarti)
atau ada bersama-sama bahasa Inggris. Misalnya, daftar perjalanan bus, dan
lain-lain. Namun, penelitian membuktikan “Sebagian besar pegawai negeri sangat
jarang memakai bahasa Irlandia selama jam kerja mereka”.
Sumber bacaan: Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.