Fenomena Pengajaran Apresiasi Sastra
Oleh
Endang Wahyuningsi
Banyak
hal yang menjadi momok dalam dunia pendidikan, salah satunya adalah pengajaran
apresiasi sastra di sekolah. Bukan rahasia lagi dan telah menjadi masalah umum
bahwa pembelajaran apresiasi sastra di sekolah terkesan kering, lesu, alias
tidak bergairah sehingga tidak memperoleh hasil sesuai harapan. Hal ini tampak
pada rendahnya minat baca sastra yang berpengaruh pula pada lemahnya kemampuan
siswa dalam mengapresiasi karya sastra. Hal ini diperparah oleh situasi
pengajaran di sekolah yang berorientasi pada pencapaian nilai Ujian Nasional.
Selain itu, tenaga guru bahasa yang ada belum tentu juga merupakan seorang
pecinta sastra. Hal ini tentu membuat pembelajaran apresiasi sastra menjadi
jauh dari tujuan.
Dalam
Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) disebutkan
bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan antara lain agar peserta didik
memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa, juga menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia. Berdasarkan Standar Isi tersebut,
sesungguhnya pembelajaran sastra memiliki tujuan yang mulia dan besar. Hanya
saja tujuan tersebut akan menjadi slogan apabila dalam pembelajaran sastra di
sekolah tidak dilakukan secara maksimal.
Fenomena
pengajaran apresiasi sastra yang ditemukan dalam dunia pendidikan ditilik dari
tiga aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Guru
· Selama ini guru hanya mengajarkan
siswanya menghapal, misalnya dalam menentukan unsur-unsur instrinsik yang ada
dalam sebuah karya sastra, siswa hanya diberi jawaban yang telah dipersiapkan
sebelum masuk ke kelas, kemudian ketika ujian siswa diberi pertanyaan tentang
hal yang sama. Tentunya siswa tidak membaca karya sastra dan melakukan kegiatan
apresiasi sastra lagi, namun hanya mengingat jawaban yang pernah diberikan oleh
gurunya.
·
Secara teknis, guru-guru bahasa umumnya
tidak otomatis juga mampu menjadi guru sastra. Akibatnya, pembelajaran
apresiasi sastra akan cenderung bersifat teknis-teoretis. Lebih ironis lagi
bila guru sendiri tidak menyukai sastra sehingga tak pernah menambah wawasan
sastranya dengan membaca buku-buku sastra berkualitas. Bagaimana siswa akan
mencintai sastra apabila guru tidak mampu menjadi contoh bagi siswanya?
·
Dalam pembelajaran apresiasi sastra
selama ini, terkesan bahwa guru banyak berperan sebagai informator tunggal.
Sehingga terbuka kemungkinan guru dijadikan sumber utama dan satu-satunya
sumber informasi bagi siswa. Hal ini melahirkan kecenderungan guru untuk
memerankan diri sebagai ’hakim’ yang sangat menentukan ’ini benar’ dan ’ini
salah’.
2. Siswa
Pada umumnya siswa malas membaca karya
sastra karena siswa merasa membaca karya satra tidak ada gunanya, toh yang
masuk ujian hanya teori tentang sastra.
3. Sarana dan Prasarana
Salah satu di antaranya adalah penyediaan
bacaan-bacaan sastra. Dalam hal ini perpustakaan memegang peran yang utama.
Hanya saja bacaan sastra di perpustakaan sekolah seringkali sangat terbatas.
Untuk menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa mengumpulkan bacaan sastra dari
media cetak atau internet yang disusun dalam bentuk kliping yang dapat dibaca
oleh semua.
Dalam mengatasi fenomena pengajaran apresiasi sastra
hendaknya para pihak seperti guru, siswa, kepala sekolah, dan aspek pendukung
lainnya hendaknya lebih memperhatikan dan mengembangkan pengajaran sastra misalnya dengan menggunakan teknik pengajaran
yang tepat. Diantara teknik pengajaran tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Teknik Induksi
Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan
pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di
ruang kelas (Anthony, 1963; Baradja, 1985).
Suatu strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu
dapat dengan mudah diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa yang
memadai dan langgeng (Natawidjaja, 1983:2). Keberartian sesuatu yang
dipelajari siswa untuk dirinya sendiri itulah yang menentukan kadar
kelanggengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini peran serta aktif dari pihak
siswa sendiri dalam kegiatan pembelajaran ikut berpengaruh terhadap keberartian
bahan pembelajaran.
Jenis teknik belajar-mengajar dapat ditimbulkan dari metode tertentu
(Broto, 1982:23). Teknik merupakan pelaksanaan dari proses pembelajaran.
Teknik biasanya ditandai dengan penggunakan alat bantu atau media tertentu yang
diperlukan.
Pembelajaran sastra yang berangkat dari pendekatan apresiatif (appreciative approach) dan memilih
metode imersi sebagai suatu alternatif, akhirnya menggiring kita untuk
menentukan dan mengangkat satu teknik yang dirasa paling sesuai. Teknik induksi
tampaknya sangat sesuai dan mendukung kegiatan ini.
Teknik induksi tidak hanya menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih
jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan
sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli
secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan
menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing,
mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya
para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti
karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung
siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan
demikian, siswa banyak tahu dan paham (baca: hafal) pengetahuan sastra, tetapi
tidak atau kurang mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra
masih jauh dari sasaran. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak
apresiatif.
Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung
bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat
dicapai oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh
siswa. Tentu saja, hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang
penting guru tidak bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan
saja. Tidaklah mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya
dengan diberitahu orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan
berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.
Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang
logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika
induktif dan logika deduktif (Suriasumantri, 1984:46). Logika induktif – yang
dipakai di sini — erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses
tertentu, induksi berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’ atau universal
dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular (Ofm, 1983:40). Induksi merupakan
cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual.
Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan
terdahulu, guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil
menemukan sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk
kemudian dibimbing ke arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang
karya sastra itu.
Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung
selalu digunakan para guru sebagai berikut. Pertama,
guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi pantun. Berikutnya
diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu disebut pantun. Akhirnya,
disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih ditambah lagi dengan
model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak apresiatif,
sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.
Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di
atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati
karya puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan
Ietak-letak keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada
penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.
Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya
terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan
terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang
diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut,
perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan
terjadi di belakang karya, dan seterusnya.
Dalam pelaksanaannya dapat saja teknik induksi diramu dengan teknik-teknik
yang lain, umpamanya brainstorming,
diskusi, dan lain-lain yang relevan. Yang tetap harus diingat, guru tidak boleh
lupa pada prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Melaksanakan CBSA
berarti guru melaksanakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan keaktifan
siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil
belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif, dan psikomotorik
(Natawidjaja, 1983: 19).
2. Teknik Brainstorming
Teknik Brainstorming
biasa diindonesiakan dengan meramu pendapat. Teknik ini merupakan perpaduan
antara teknik tanya jawab dengan teknik diskusi. Teknik ini dianggap bagus
karena setiap siswa boleh atau dapat secara bebas mengemukakan pendapatnya. Teknik
ini dapat membangkitkan pikiran siswa yang kreatif, memancing timbulnya
pendapat-pendapat baru, dan menimbulkan suasana yang menyenangkan.
Keunggulan teknik ini adalah :
1. merangsang semua siswa untuk ambil bagian dalam diskusi
2. menghasilkan reaksi berantai
3. menghemat waktu
4. dapat digunakan dalam kelompok besar maupun kecil
5. tidak memerlukan moderator yang hebat
6. memerlukan sedikit peralatan
Langkah-langkah PBM:
1. apersepsi 2. guru membentuk kelompok kecil di kelas
3. guru memberikan sebuah cerpen pada tiap kelompok dengan judul yang sama
4. menugasi siswa untuk menganalisis unsur intrinsik cerpen (karakter dan plot)
5. menugasi siswa untuk berpendapat hasil temuannya
6. siswa yang lain menanggapi jawaban siswa
7. guru mendaftar atau mencatat semua pendapat dan tanggapan siswa
8. guru menyimpulkan hasil pendapat siswa dengan adil
9. siswa mencatat kesimpulan yang disampaikan oleh guru.
Dalam teknik ini guru diharapkan memberikan penguatan pada setiap pendapat siswa agar siswa termotivasi untuk menyampaikan ide-idenya.
Keunggulan teknik ini adalah :
1. merangsang semua siswa untuk ambil bagian dalam diskusi
2. menghasilkan reaksi berantai
3. menghemat waktu
4. dapat digunakan dalam kelompok besar maupun kecil
5. tidak memerlukan moderator yang hebat
6. memerlukan sedikit peralatan
Langkah-langkah PBM:
1. apersepsi 2. guru membentuk kelompok kecil di kelas
3. guru memberikan sebuah cerpen pada tiap kelompok dengan judul yang sama
4. menugasi siswa untuk menganalisis unsur intrinsik cerpen (karakter dan plot)
5. menugasi siswa untuk berpendapat hasil temuannya
6. siswa yang lain menanggapi jawaban siswa
7. guru mendaftar atau mencatat semua pendapat dan tanggapan siswa
8. guru menyimpulkan hasil pendapat siswa dengan adil
9. siswa mencatat kesimpulan yang disampaikan oleh guru.
Dalam teknik ini guru diharapkan memberikan penguatan pada setiap pendapat siswa agar siswa termotivasi untuk menyampaikan ide-idenya.
3. Teknik
Main Peran
- Main peran bermaksud melakonkan sesuatu situasi atau masalah atau peristiwa yang dianggap penting.
- Pelajar diberi peranan dan bertindak sebagai watak-watak yang ditentukan dalam satu situasi yang disediakan.
- Main peranan ialah dramatisasi yang tiada kaitan atau penghafalan skrip, dimana pelakon-pelakon coba menyelesaikan atau menjelaskan situasi kepada pelajar-pelajar lain supaya mempraktikan kepada diri mereka berdasarkan peranan yang dimainkan secara spontan.
- Proses ini biasanya dimulai dengan pemikiran masalah yang sesuai. Masalah ini dikemukakan kepada pelajar dengan cara membacakannya atau memperlihatkannya melalui film, televisi, mendengar rekaman dan sebagainya.
- Teknik main peran ini cocok untuk pengajaran sastra berupa drama.
4. Teknik Soal – Jawab
- Merupakan teknik yang paling lama dan paling popular digunakan dalam bidang pendidikan
- Pemilihan teknik ini bukan karena ia mudah dilaksanakan, tetapi ia adalah bentuk yang berupaya mewujudkan interaksi guru dengan murid secara berkesan.
- Teknik ini dilaksanakan dengan cara guru mengemukakan soal-soal yang berkaitan dengan isi pelajaran dan pelajar dikehendaki memberi tindak balas yang sewajarnya.
- Soal-soal yang dikemukan memerlukan pelajar berfikir disamping dapat menguji dan menilai apa yang diajar.
- Tujuan utama teknik soal jawab ialah :
- Untuk mengasah pengetahuan berbahasa murid
- Untuk menggalakkan pelajar berfikir secara kreatif, inovatif, logik dan kritis.
- Untuk mendorong pelajar menyusun dan menguraikan bahan yang diajar.
- Soal yang terancang dan bermutu dapat membantu menajamkan pemikiran pelajar di samping dapat mewujudkan suasana pembelajaran yang lebih dinamik dan berkesan.
- Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran sastra berupa puisi, dan cerpen.
5. Teknik Bercerita
- Merupakan salah satu pendekatan yang sesuai digunakan untuk membina kecakapan berbahasa karena cerita merupakan sesuatu yang dapat menarik minat dan perhatian pelajar.
- Latihan pemahaman, perluasan perbendaharaan kata, dan tatabahasa dapat disampaikan.
- Dapat meningkatkan penguasaan kemahiran mendengar, bertutur, membaca, dan menulis di kalangan pelajar.
- Perkembangan cerita hendaklah diberi perhatian agar ada peringkat permulaan, pemuncak, dan kesudahan cerita. Perhatian perlu diberi kepada teknik persembahan, suara, gerak laku, dan kawalan mata.
- Suara memainkan peranan yang penting dan harus diperhatikan agar tidak hanya mendatar dan tidak menimbulkan kebosanan.
- Langkah-langkah dalam persediaan teknik bercerita ialah :
- Pilih cerita yang sesuai dengan umur, kecerdasan dan minat murid-murid. Kemudian, sesuaikan pula dengan isi pelajaran yang hendak disampaikan.
- Kaji cerita itu dan coba masukkan aspek-aspek bahasa.
- Hafalkan frasa atau kata-kata penting.
- Latih bercerita seolah-olah guru berada dihadapan murid-murid sekurang-kurangnya sekali sebelum menggunakan teknik ini.
- Guru bercerita dalam keadaan yang leluasa.
- Guru boleh menggunakan gambar, objek-objek sebenar atau lain-lain.
- Sediakan kad-kad perkataan, frasa-frasa atau kata-kata yang berkaitan dengan aspek-aspek bahasa yang hendak disampaikan.
- Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran cerpen atau novel, dalam kegiatan menceritakan kembali isi cerita dengan menggunakan kalimat yang efektif.
6. Teknik Drama
- Sering digunakan dalam kaedah komunikatif dan kaedah yang berasaskan pendekatan induktif yaitu kaedah terus, elektif, dan audiolingual.
- Tujuan utama adalah untuk melatih pelajar menggunakan unsur bahasa, unsur paralinguistik (jeda, nada, dan intonasi) dan bukan linguistik (mimik muka, gerak tangan, kepala dll) dengan berkesan dalam sesuatu interaksi bahasa atau perbuatan.
- Penggunaannya dapat mendorong dan merangsang pelajar untuk menghubungkan perasaannya dengan mata pelajaran yang dipelajarinya.
- Pelajar bebas meluahkan sesuatu, membuat penemuan, memberi dan berkongsi sesuatu.
- Drama berperanan sebagai ragam pembelajaran yaitu sebagai salah satu alat bantu pengajaran dan pembelajaran.
- Dapat menimbulkan keberkesanan pembelajaran kepada pelajar, disamping dapat menyuburkan keterampilan pelajar.
- Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran sastra berupa drama.
Daftar Pustaka
Anthony,
Edward M. 1972. "Approach, Method, and Technique" dalam Allen &
Campbell, ed., Teaching English as a Second Language: A Book of Readings. New
York: McGraw-Hill.
Baradja,
M.F. 1985. A Way to Analyze Method. Semarang:
Akademi Bahasa 17 Agustus 1945 Semarang.
Broto, A.S. 1982. Metode Proses Belajar-Mengajar Berbahasa
Dewasa Ini. Solo: Tiga Serangkai.
------------------ 1982. Metodologi
Proses Belajar-Mengajar Berbahasa. Solo: Tiga Serangkai.
Gani, Rizanur. 1980. "Pengajaran Apresiasi Puisi" dalam Pengajaran
Bahasa dan Sastra Th. VI, Nomor 3. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.
http://herdianwb.blogspot.com/2009/07/analisis-unsur-intrinsik-cerpen-dengan.html
diundu 6 Juni 2011.
http://bobezani.tripod.com/teknik.htm
diundu 6 juni 2011.
Natawidjaja,
Rochman. 1983. CBSA Cara Belajar Siswa Aktif. Jakarta: Ditjendikdasmen—Ditdikgutentis Depdikbud.
Ofm, Alex Lanur. 1983. Logika Selayang Pandang. Yogyakarta:
Kanisius.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta:
Sinar Harapan.
0 komentar:
Posting Komentar