FAKTOR KONTEKSTUAL KEMAHIRAN BAHASA KEDUA
Bahan
5
Oleh
Endang Wahyuningsi
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis ucapkan kepada Allah
Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan berkahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas “Asas-asas Pembelajaran Bahasa” tepat pada waktunya. Tugas
ini merupakan tugas kedua perkuliahan Asas-asas Pembelajaran Bahasa.
Tugas ini terdiri atas pendahuluan, ringkasan bahan,
aplikasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia, refleksi berdasarkan pengalaman,
dan diakhiri dengan daftar pustaka. Tujuan utama dari penulisan tugas ini
adalah untuk mengasah kemampuan mahasiswa dan mengajarkan mahasiswa mencari
sendiri dan mengaplikasikan pengetahuan dan pengalaman yang telah ditemukan
dari kegiatan penugasan.
Penulis
menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga dengan adanya penulisan
tugas ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Padang,
14 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................... ii
A. Pendahuluan...................................................................................................... 1
B. Ringkasan
Bahan............................................................................................... 1
C. Aplikasi
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia............................................... 5
D. Refleksi
Berdasarkan Pengalaman..................................................................... 7
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan; makhluk hidup yang selalu berpikir, merasa, mencipta, dan berkarya.
Untuk mengkomunikasikan pikiran dan karyanya, manusia membutuhkan sarana atau
media. Sarana yang dimaksud adalah bahasa.
Penguasaan seseorang terhadap suatu
bahasa (bahasa pertama dan bahasa kedua) akan dipengaruhi oleh metodologi
pengajaran dan faktor kontekstual. Faktor kontekstual meliputi individu,
sosial, dan masyarakat. Faktor-faktor kontekstual ini dipandang dari perspektif
bahasa, pelajar, dan proses belajar. Untuk lebih memahami hal ini, maka makalah
ini disusun.
B. Ringkasan Bahan
Faktor
Kontekstual Kemahiran Bahasa Kedua
oleh
Aida Walqui,
West Ed, San Francisco, California
Sementara
banyak diskusi tentang belajar bahasa kedua, fokus pada metodologi pengajaran dan
sedikit penekanan pada faktor kontekstual, individu, sosial, dan masyarakat
yang mempengaruhi belajar siswa. Faktor-faktor kontekstual yang akan dibahas
dipertimbangkan dari perspektif bahasa, pelajar, dan proses belajar. Berikut
penjelasan lebih lanjut.
1.
Bahasa
Faktor-faktor yang berhubungan
dengan bahasa pertama dan bahasa kedua siswa adalah jarak linguistik antara
kedua bahasa, tingkat kemahiran siswa dalam bahasa asli, pengetahuan mereka
tentang bahasa kedua, dialek bahasa asli yang diucapkan siswa, status relatif
bahasa siswa dalam masyarakat, dan sikap sosial siswa terhadap bahasa asli.
Berikut penjelasan lebih lanjut.
a.
Jarak
bahasa
Bahasa tertentu dapat menjadi lebih
atau kurang sulit dipelajari, hal ini tergantung pada seberapa berbeda atau
sama dengan bahasa yang dikuasai siswa. Misalnya, pada bahasa pertahanan
Institute di Monterey, California, bahasa ditempatkan dalam empat ketegori
tergantung pada kesulitan rata-rata mereka belajar dari perspektif penutur asli
bahasa Inggris. Kursus dasar bahasa yang intensif, yang membawa siswa untuk
tingkat menengah, bisa selama 24 minggu untuk bahasa seperti Belanda atau
Spanyol, yang Indo Bahasa Eropa dan menggunakan sistem penulisan yang sama
seperti bahasa Inggris, atau selama 65 minggu untuk bahasa seperti bahasa Arab,
Korea, atau Vietnam yang merupakan anggota dari keluarga bahasa lain dan sistem
penulisan yang berbeda.
b.
Kemahiran
Berbahasa Asli
Tingkat kemahiran siswa dalam
bahasa asli, tidak hanya bahasa lisan, keaksaraan, tetapi juga pengembangan
metalinguistik, pelatihan formal dan akademis, penggunaan fitur bahasa, dan
pengetahuan tentang retorika, dan variasi genre dan gaya. Hal tersebut
mempengaruhi kemahiran bahasa kedua karena semakin canggih akademis atau
pengetahuan dan kemampuan siswa dalam bahasa asli atau bahasa ibu, maka siswa
semakin mudah untuk belajar bahasa kedua.
c.
Pengetahuan
tentang Bahasa Kedua
Pengetahuan awal siswa terhadap
bahasa kedua merupakan faktor yang signifikan bagi mereka saat belajar bahasa
kedua.
d.
Dialek
dan Tingkat Nada
Perbedaan dialek dan tingkatan nada
pada siswa dipengaruhi oleh lingkungan dan masyarakat tutur, hal ini
mengakibatkan pola berpidato siswa juga berbeda.
e.
Status
Bahasa
Status bahasa dipertimbangkan dari
etnis, kultur, dialek dan tingkatan nada dari bahasa dan hubungan antara kedua
bahasa. Misalnya, siswa yang memiliki status bahasa rendah mungkin merasa
mereka harus menyerahkan latar belakang bahasa dan budaya untuk bergabung
dengan masyarakat yang lebih bergengsi terkait dengan bahasa kedua.
f.
Sikap
Bahasa
Sangat
penting bahwa guru dan siswa memeriksa dan memahami sikap bahasa. Secara
khusus, mereka perlu memahami bahwa belajar bahasa kedua tidak perlu
menyerahkan bahasa pertama atau dialek pertama. Sebaliknya, hal itu akan
menambahkan bahasa baru atau dialek baru untuk penambahan kosakata seseorang.
2.
Pelajar
Pelajar atau siswa berasal dari
berbagai latar belakang, maka faktor-faktor kontekstual yang berkaitan dengan
pelajar, yaitu beragam kebutuhan, beragam tujuan, kelompok teman sebaya, peran
model, dan tingkat dukungan rumah. Faktor-faktor tersebut sangat dapat
mempengaruhi keinginan dan kemampuan siswa untuk belajar bahasa kedua. Berikut
penjelasan lebih lanjut.
a.
Beragam
Kebutuhan
Beragam kebutuhan siswa dalam
belajar bahasa kedua harus diimbangi guru dengan kurikulum, pendekatan, dan
bahan ajar yang berbeda namun tujuannya sama, yaitu untuk memudahkan siswa
memahami pelajaran.
b.
Beragam
Tujuan
Tujuan siswa dapat bervariasi dari
integratif sepenuhnya, keinginan untuk mengasimilasi, dan menjadi anggota penuh
dari dunia berbahasa Inggris terutama untuk berperan-berorientasi pada tujuan
tertentu seperti keberhasilan akademis atau profesional (Gardner,1989).
c.
Kelompok
Teman Sebaya
Remaja sangat cenderung dipengaruhi
oleh kelompok teman sebaya. Dalam belajar bahasa kedua tekanan teman sebaya
sering merusak tujuan yang ditetapkan oleh orang tua dan guru. Tekanan teman
sebaya sering mengurangi keinginan siswa untuk belajar ke arah pengucapan asli
karena suatu pengucapan bahasa dapat dianggap aneh. Untuk itu penting menjaga
pengaruh teman sebaya dalam pikiran dan untuk menciptakan citra positif untuk
kemahiran dalam bahasa kedua.
d.
Peran
Model
Siswa perlu memiliki peran model
positif dan realistis yang menunjukkan nilai menjadi mahir dalam lebih dari
satu bahasa. Hal ini juga berguna untuk membaca literatur tentang pengalaman
pribadi dari orang-orang yang beragam bahasa dan latar belakang dialek. Melalui
diskusi dari tantangan yang dialami oleh orang lain, siswa dapat mengembangkan
dan lebih baik memahami tantangan mereka sendiri.
e.
Dukungan
Rumah
Dukungan dari rumah sangat penting
bagi pembelajaran bahasa kedua yang sukses. Beberapa pendidik percaya bahwa
orang tua dari pelajar bahasa Inggris harus berbicara hanya bahasa Inggris di
rumah (lihat, misalnya, rekomendasi yang dibuat dalam Rodriguez, 1982). Namun,
jauh lebih penting daripada berbicara bahasa Inggris adalah bahwa orang tua
menghargai baik bahasa asli atau bahasa ibu dan bahasa Inggris, berkomunikasi
dengan anak-anak mereka dengan bahasa yang paling nyaman, dan menunjukkan
dukungan dan minat dalam kemajuan anak-anak mereka.
3.
Proses
Belajar
Ketika kita berpikir tentang
pengembangan bahasa kedua sebagai proses pembelajaran, kita perlu mengingat
bahwa siswa yang berbeda memiliki gaya belajar yang berbeda, motivasi belajar,
dan kualitas interaksi dalam kelas. Berikut penjelasan lebih lanjut.
a.
Gaya
Belajar
Penelitian telah menunjukkan bahwa
individu sangat bervariasi dalam cara mereka belajar bahasa kedua (Skehan,
1989). Misalnya beberapa siswa lebih berorientasi analitis dan berkembang pada
memilih selain kata-kata dan kalimat, ada juga yang berorientasi menyeluruh,
perlu pengalaman keseluruhan pola bahasa dalam konteks yang bermakna sebelum
membuat bagian linguistik dan bentuk, dan ada beberapa siswa lebih berorientasi
visual, dan yang lain lebih diarahkan pada suara.
b.
Motivasi
Menurut Deci dan Ryan (1985),
motivasi instrinsik berkaitan dengan kebutuhan kompetensi dasar manusia dan
keterkaitan otonomi. Kegiatan dalam motivasi adalah pelajar terlibat dalam
kepentingan mereka sendiri karena niat, minat, dan tantangan mereka.
Kegiatan-kegiatan tersebut menyajikan peluang terbaik untuk belajar.
c.
Interaksi
dalam Kelas
Pembelajaran bahasa tidak terjadi
karena proses menghapal, akan tetapi pembelajaran bahasa terjadi melalui
interaksi menggunakan bahasa kedua di dalam kelas. Sehingga metode ceramah dan
pengajian bukanlah metode yang tepat dalam pembelajaran bahasa kedua. Guru
perlu bergerak ke arah penggunaan bahasa kedua yang lebih kaya interaksi,
seperti yang ditemukan dalam percakapan intruksional (Tharp dan Gallimore,
1988) dan kolaboratif kelas kerja (Adger, Kalyanpur, Peterson, dan Bridger,
1995).
4.
Kesimpulan
Artikel ini difokuskan pada proses
kemahiran bahasa kedua dari perspektif bahasa, pelajar, dan proses belajar. Namun,
penting juga untuk menunjukkan bahwa konteks sosial dan budaya lebih besar
dalam mempengaruhi pengembangan bahasa kedua dan memiliki dampak luar biasa
pada pembelajaran bahasa kedua, terutama bagi siswa imigran. Status kelompok
etnis siswa itu dalam kaitannya dengan budaya yang lebih besar dapat membantu
atau menghambat kemahiran bahasa pertama masyarakat.
C. Aplikasi dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia
Seorang pendidik harus mengetahui
faktor-faktor yang bisa mempengaruhi pembelajaran bahasa. Misalnya faktor
metodologi pengajaran dan faktor kontekstual yang telah dipaparkan. Pengetahuan
dasar tentang fakor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran bahasa akan berdampak
baik bagi guru dalam mengatasi masalah yang ada di dalam pembelajaran bahasa.
Perlu
kita ketahui ada dua tipe pembelajaran bahasa menurut Ellis (1986:2012), yaitu
tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Yang pertama tipe
naturalistik bersifat alami, tanpa
guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan
kehidupan bermasyarakat. Tipe kedua bersifat formal berlangsung di dalam kelas
dengan guru, materi, dan alat-alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan.
Pada prinsipnya pembelajaran suatu
bahasa adalah sama. Misalnya jenis-jenis kata dalam bahasa Minangkabau akan sama dengan jenis-jenis kata dalam bahasa
Indonesia, misalnya kata ‘amak’ setara
dengan kata ‘ibu’ yang merupakan jenis kata benda atau nomina yang disebut juga
dengan kata sapaan. Pada pembelajaran pidato atau drama seorang siswa akan berbeda
cara pelafalan dan intonasi bacaannya, hal ini disebabkan oleh pengaruhi
lingkungan dan masyarakat tutur. Kemudian jika kita menguasai bahasa asli, maka
pembelajaran bahasa kedua akan muda, namun perlu diingat dalam menguasai bahasa
kedua, kita tidak boleh meninggalkan bahasa asli kita karena akan menghilangkan
kekayaan atau ciri khas kita sebagai suku bangsa yang memiliki bahasa asli.
Misalnya dalam materi pembelajaran bahasa Indonesia mengenai ungkapan, seorang
siswa akan mengingat ungkapan yang berasal dari daerahnya, seperti alam takambang jadi guru.
Seorang guru harus menyiapkan
berbagai metode dan bahan ajar ketika akan mengajar siswa yang bervariasi
tingkat kebutuhannya. Misalnya bagi siswa yang tergolong pintar, seorang guru
yang baik akan membuat soal bahasa Indonesia yang agak sulit dari siswa yang
tergolong rendah hasil belajarnya. Kemudian diperlukan hubungan baik antara
guru atau pihak sekolah dengan orang tua atau famili siswa agar proses dan
hasil belajar bahasa Indonesia bagus.
Proses belajar juga dipengaruhi oleh gaya
belajar siswa dan motivasi siswa. Sehingga dalam proses belajar bahasa
Indonesia ada siswa yang hobi dan semangat ketika belajar sastra, ada yang
semangat dalam bidang kebahasaan, dan juga berbeda dari segi keterampilan berbahasa
yang mereka sukai. Kesemua ini berawal dari motivasi siswa. Untuk itu seorang
guru harus menanamkan motivasi bagi setiap siswa untuk menyenangi atau
setidaknya mengingatkan bahwa mempelajari keempat keterampilan berbahasa
Indonesia dengan dua bidang bahasa dan sastra adalah penting, mudah-mudahan
siswa paham dan semua siswa termotivasi untuk belajar bahasa Indonesia.
Menurut Dulay, Dkk (dalam Chaer,
2003:254) ada tiga model pembelajaran bahasa, yaitu (1) komunikasi satu arah,
model pembelajaran ini cenderung tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk
merespon apa yang disampaikan guru dalam bahasa yang dipelajari, (2) komunikasi
dua arah terbatas, model pembelajaran yang memberikan kesempatan untuk merespon
tetapi bukan dalam bahasa yang dipelajari, (3) komunikasi dua arah penuh, model
pembelajaran ini memberikan kesempatan
yang sebanyak-banyaknya kepada pelajar untuk menggunakan bahasa yang dipelajari
dalam proses pembelajaran.
Pada pembelajaran bahasa juga bisa
menggunakan peran model, misalnya membaca biografi tokoh terkenal atau ternama.
Seorang anak akan memahami dan bisa mencontoh hal-hal baik dari biografi
seorang tokoh. Seorang anak akan bisa belajar sendiri atau mandiri untuk
mengatasi masalah hidup karena sudah belajar dari tokoh yang diidolakannya.
Pembelajaran bahasa Indonesia juga
dipengaruhi oleh teman sebaya. Misalnya ketika akan menampilkan pementasan atau
berpidato ke depan kelas, seorang siswa akan merasa malu untuk melafalkan
kata-kata dan kalimat. Hal ini dikarenakan siswa takut seandainya yang
diucapkannya salah dan menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Untuk mengatasi
hal ini seorang guru harus bisa meminimalkan kesalahan siswa, misalnya sebelum
tampil ke depan kelas dan disaksikan oleh teman-temannya, terlebih dahulu siswa
diberi kesempatan untuk berlatih.
D. Refleksi Berdasarkan Pengalaman
Berdasarkan kenyataan di lapangan
dan berdasarkan pengalaman yang saya miliki, maka seorang guru harus memahami
karakteristik siswa, memahami kelebihan dan kekurangan siswa, memahami minat dan
bakat siswa, memahami latar belakang dan lingkungan tempat tinggal siswa, memahami
berbagai faktor yang akan mempengaruhi proses pembelajaran, serta seorang guru
harus memiliki solusi yang terbaik dalam mengatasi permasalahan dalam belajar
bahasa Indonesia.
Mengajarkan tentang drama, seorang
guru yang baik harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih atau
bahkan bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan dalam kegiatan belajar
drama atau pidato, puisi, dan lain-lain. Kemudian seorang guru harus bisa
menyediakan waktu di luar jam pelajaran untuk menilai hasil latihan drama,
pidato, puisi dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar siswa sudah percaya diri
dan tidak takut ditertawakan oleh teman-temannya karena salah dialog atau gugup
serta kurang persiapan ketika akan tampil.
Usaha untuk mengasah kemampuan
siswa dapat dilakukan dengan menugaskan siswa untuk menulis, misalnya pada Kompetensi
Dasar (KD) menuliskan kembali berita yang dibacakan dalam beberapa kalimat.
Nah, dari penugasan ini siswa dilatih menggunakan bahasa tulis. Melalui
penugasan ini diharapkan siswa terlatih dalam menulis bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
Pelatihan lain yang bisa digunakan
dalam membiasakan siswa berbahasa Indonesia adalah melalui KD menceritakan
pengalaman yang paling mengesankan dengan menggunakan pilihan kata dan kalimat
efektif. Hal ini dilakukan untuk melatih keterampilan berbicara sekaligus
membaca dan menulis. Melalui pelatihan ini diharapkan siswa menguasai
keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan santun.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmazaki. 2012. Asas-asas
Pembelajaran Bahasa (Materi Pembelajaran).
Padang: UNP.
Chaer, Abdul.
2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Walqui, Aida. Contextual Factors in Second Language Acquisition.
San Francisco.
LAMPIRAN
Contextual Factors in Second
Language Acquisition
Aída Walqui, West Ed, San Francisco, California
While many discussions about
learning a second language focus on teaching methodologies, little emphasis is
given to the contextual factors -- individual, social, and societal -- that
affect students' learning. These contextual factors can be considered from the perspective
of the language, the learner, and the learning process. This digest discusses
these perspectives as they relate to learning any second language, with a
particular focus on how they affect adolescent learners of English as a second
language.
1. Language
Several factors related to students' first and second languages shape
their second language learning. These factors include the linguistic distance
between the two languages, students' level of proficiency in the native
language and their knowledge of the second language, the dialect of the native
language spoken by the students (i.e., whether it is standard or nonstandard),
the relative status of the students' language in the community, and societal
attitudes toward the students' native language.
a. Language Distance
Specific languages can be
more or less difficult to learn, depending on how different from or similar
they are to the languages the learner already knows. At the Defense Language Institute
in Monterey, California, for example, languages are placed in four categories depending
on their average learning difficulty from the perspective of a native English speaker.
The basic intensive language course, which brings a student to an intermediate
level, can be as short as 24 weeks for languages such as Dutch or Spanish,
which are Indo European languages and use the same writing system as English,
or as long as 65 weeks for languages such as Arabic, Korean, or Vietnamese,
which are members of other language families and use different writing systems.
b. Native Language Proficiency
The student's level of
proficiency in the native language -- including not only oral language and
literacy, but also metalinguistic development, training in formal and academic features
of language use, and knowledge of rhetorical patterns and variations in genre
and style -- affects acquisition of a second language. The more academically
sophisticated the student's native language knowledge and abilities, the easier
it will be for that student to learn a second language. This helps explain why
foreign exchange students tend to be successful in American high school
classes: They already have high school level proficiency in their native language.
c. Knowledge of the Second Language
Students' prior knowledge of
the second language is of course a significant factor in their current
learning. High school students learning English as a second language in a U.S. classroom
may possess skills ranging from conversational fluency acquired from contacts with
the English-speaking world to formal knowledge obtained in English as a foreign
language classes in their countries of origin. The extent and type of prior
knowledge is an essential consideration in planning instruction. For example, a
student with informal conversational English skills may have little
understanding of English grammatical systems and may need specific instruction
in English grammar.
d. Dialect and Register
Learners may need to learn a
dialect and a formal register in school that are different from those they
encounter in their daily lives. This involves acquiring speech patterns that may
differ significantly from those they are familiar with and value as members of
a particular social group or speech community.
e. Language Status
Consideration of dialects
and registers of a language and of the relationships between two languages
includes the relative prestige of different languages and dialects and of the cultures
and ethnic groups associated with them. Students whose first language has a low
status vis a vis the second may lose their first language, perhaps feeling they
have to give up their own linguistic and cultural background to join the more
prestigious society associated with the target language.
f. Language Attitudes
Language attitudes in the
learner, the peer group, the school, the neighborhood, and society at large can
have an enormous effect on the second language learning process, both positive
and negative. It is vital that teachers and students examine and understand
these attitudes. In particular, they need to understand that learning a second
language does not mean giving up one's first language or dialect. Rather, it
involves adding a new language or dialect to one's repertoire. This is true
even for students engaged in formal study of their first language. For example,
students in Spanish for native speakers classes may feel bad when teachers tell
them that the ways they speak Spanish are not right. Clearly, this is an issue
of dialect difference. School (in this case, classroom Spanish) requires formal
registers and standard dialects, while conversation with friends and relatives
may call for informal registers and nonstandard dialects. If their ways of
talking outside of school are valued when used in appropriate contexts,
students are more likely to be open to learning a new language or dialect,
knowing that the new discourses will expand their communicative repertoires
rather than displace their familiar ways of communicating.
2. The Learner
Students come from diverse
backgrounds and have diverse needs and goals. With adolescent language
learners, factors such as peer pressure, the presence of role models, and the
level of home support can strongly affect the desire and ability to learn a
second language.
a. Diverse Needs
A basic educational
principle is that new learning should be based on prior
experiences and existing skills.
Although this principle is known and generally agreed upon by educators, in
practice it is often overshadowed by the administrative convenience of the linear
curriculum and the single textbook. Homogeneous curricula and materials are problematic
enough if all learners are from a single language and cultural background, but they
are indefensible given the great diversity in today's classrooms. Such
diversity requires a different conception of curricula and a different approach
to materials. Differentiation and individualization are not a luxury in this
context: They are a necessity.
b. Diverse Goals
Learners' goals may
determine how they use the language being learned, how nativelike their
pronunciation will be, how lexically elaborate and grammatically accurate their
utterances will be, and how much energy they will expend to understand messages
in the target language. Learners' goals can vary from wholly integrative -- the
desire to assimilate and become a full member of the English-speaking world --
to primarily instrumental -- oriented toward specific goals such as academic or
professional success (Gardner, 1989). Educators working with English language
learners must also consider whether the communities in which their students
live, work, and study accept them, support their efforts, and offer them
genuine English-learning opportunities.
c. Peer Groups
Teenagers tend to be heavily
influenced by their peer groups. In second language learning, peer pressure
often undermines the goals set by parents and teachers. Peer pressure often
reduces the desire of the student to work toward native pronunciation, because
the sounds of the target language may be regarded as strange. For learners of
English as a second language, speaking like a native speaker may unconsciously
be regarded as a sign of no longer belonging to their native-language peer
group. In working with secondary school students, it is important to keep these
peer influences in mind and to foster a positive image for proficiency in a
second language.
d. Role Models
Students need to have
positive and realistic role models who demonstrate the value of being
proficient in more than one language. It is also helpful for students to read
literature about the personal experiences of people from diverse language and
dialect backgrounds. Through discussions of the challenges experienced by
others, students can develop a better understanding of their own challenges.
e. Home Support
Support from home is very
important for successful second language learning. Some educators believe that
parents of English language learners should speak only English in the home
(see, e.g., recommendations made in Rodriguez, 1982). However, far more
important than speaking English is that parents value both the native language
and English, communicate with their children in whichever language is most
comfortable, and show support for and interest in their children's progress.
3. The Learning Process
When we think of second
language development as a learning process, we need to remember that different
students have different learning styles, that intrinsic motivation aids
learning, and that the quality of classroom interaction matters a great deal.
a. Learning Styles
Research has shown that
individuals vary greatly in the ways they learn a second language (Skehan,
1989). Some learners are more analytically oriented and thrive on picking apart
words and sentences. Others are more globally oriented, needing to experience
overall patterns of language in meaningful contexts before making sense of the
linguistic parts and forms. Some learners are more visually oriented, others
more geared to sounds.
b. Motivation
According to Deci and Ryan
(1985), intrinsic motivation is related to basic human needs for competence,
autonomy, and relatedness. Intrinsically motivated activities are those that
the learner engages in for their own sake because of their value, interest, and
challenge. Such activities present the best possible opportunities for
learning.
c. Classroom Interaction
Language learning does not
occur as a result of the transmission of facts about language or from a
succession of rote memorization drills. It is the result of opportunities for meaningful
interaction with others in the target language. Therefore, lecturing and
recitation are not the most appropriate modes of language use in the second
language classroom. Teachers need to move toward more richly interactive
language use, such as that found in instructional conversations (Tharp &
Gallimore, 1988) and collaborative classroom work (Adger, Kalyanpur, Peterson, &
Bridger, 1995).
4. Conclusion
While this digest has
focused on the second language acquisition process from the perspective of the
language, the learner, and the learning process, it is important to point out that
the larger social and cultural contexts of second language development have a tremendous
impact on second language learning, especially for immigrant students. The status
of students' ethnic groups in relation to the larger culture can help or hinder
the acquisition of the language of mainstream society.
5. References
Adger, C., Kalyanpur, M., Peterson, D., & Bridger, T. (1995). Engaging
students: Thinking, talking, cooperating. Thousand Oaks, CA: Corwin.
Deci, E.L., & Ryan, R.M. (1985). Intrinsic motivation and
self-determination in humanbehavior. New York: Plenum.
Gardner, H. (1989). To open minds: Chinese clues to the dilemma
of contemporary education. New York: Basic.
Rodriguez, R. (1982). Hunger of memory: The education of
Richard Rodriguez, an autobiography. Toronto: Bantam.
Skehan, P. (1989). Individual differences in second-language
learning. London: Edward Arnold.
Tharp, R.G., & Gallimore, R. (1988). Rousing minds to life:
Teaching, learning, and school in social context. New York: Cambridge
University Press.
http://www.cal.org/resources/digest/
(6/7/06)
0 komentar:
Posting Komentar